Kamis, 23 Juli 2009

Media dan Hegemoni

Oleh: Al-Ponco

Saat ini media massa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, lebih dari itu, di era teknologi modern ini fungsi media massa adalah sebagai alat untuk mengendalikan persepsi dan pandangan orang lain. Media massa umumnya memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan isi atau program, untuk memperoleh kekhasan profil khalayak sasaran yang mereka inginkan. Kebijakan tersebut sekaligus menentukan mutu media massa yang bersangkutan, termasuk iklan-iklan yang dimuat atau ditayangkan oleh media massa tersebut. Setiap hari audience diberondong oleh informasi-informasi di media sehingga terkadang mereka tidak mampu untuk memilah dan memilih berita yang tepat. Seringkali perilaku khalayak—sebagai konsumen—dipengaruhi oleh berita yang mereka baca, lihat, mau pun dengar tanpa pertimbangan yang matang terlebih dahulu. Karena setiap media massa mempunyai karakteristik dan ideologi yang berbeda, sesuai dengan arah, tujuan, dan konsep media itu sendiri. Maka dalam mendefinisikan suatu realitas sosial, media massa terkait dengan ideologinya sehingga dalam mengemas pemberitaannya pun media massa akan berusaha untuk menyebarkan ideologinya dan tentunya hal tersebut dapat mempengaruhi pemberitaan yang disajikannya. Di sinilah media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Bak mata uang, media mainstream mempunyai dua sisi yang berbeda, dimana sisi yang pertama, media sebagai alat dan sumber informasi, serta gagasan mengenai suatu fenomena sosial di masyarakat, namun pada saat yang bersamaan, di sisi kedua, media juga dapat berkembang menjadi kelompok pressure atas suatu ideologi atau pun gagasan terhadap kelompok sosial yang lemah.

Media mainstream sebagai basis dan tempat bagi beragam bentuk permainan makna dan relasi budaya yang sangat besar. Gaya hidup, estetika, dan prestise—sebagai fenomena budaya urban-kosmopolit—adalah sesuatu yang bisa dijual. Kaum kapitalis berpersepsi bahwa budaya dapat memuaskan hasrat dan impian kaum urban-kosmopolit tentang kehidupan yang indah, tenang, dan sejahtera, sekali pun semu.[1]

Saat ini banyak remaja di Indonesia, khususnya yang tinggal di kota-kota besar, yang mengadopsi budaya asing yang modern. Sehingga teknologi, fesyen, musik, dan pesta sering diasumsikan sebagai budaya anak muda—dimana ketiga hal tersebut dianggap sebagai bentuk modernisasi—dan tidak sedikit pula dari mereka yang terjebak—baik disengaja mau pun yang tidak—dalam gaya hidup konsumerisme, materialisme, hingga hedonisme. Gaya hidup merupakan sesuatu hal yang prestise bagi masyarakat kosmopolitan, tak terkecuali para remaja. Sebagai kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio, bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka juga mempunyai banyak kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi. Seperti yang dikatakan Idi Subandi, bahwa:

“Apa yang mungkin lebih relevan adalah bahwa dalam perburuan gaya hidup yang glamour, misalnya para produsen dan industri hiburan (serta media massa) mencoba melakukan bujuk rayu terhadap para pelanggan melalui ilusi-ilusi tentang diri (illusions of self). Artinya, bahwa mereka menarik pelanggan seperti terlihat dalam bahasa-bahasa penampilan yang digunakan melalui industri kebudayaan massa. Mereka diberi ilusi-ilusi tertentu tentang keunikan dalam gaya hidup personal yang menyilaukan sehingga terperangkap dalam penampakkan luar dimana mereka tidak memiliki kendali. Disinilah kita mulai memasuki wilayah periklanan gaya hidup. Komoditi diukir dengan gaya dan gaya adalah komoditi yang bernilai.”[2]

Sifat serta fungsi media yang berubah—dari media informasi menjadi media hiburan—mengakibatkan ketergantungan di masyarakat. Ketergantungan masyarakat terhadap media massa juga mengakibatkan timbulnya budaya—dimana banyak ibu-ibu rumah tangga yang lebih mementingkan tayangan infotainment dibandingkan dengan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya, atau anak-anak kecil yang rela untuk tidur larut demi menonton tayangan Smack Down, bahkan konflik-konflik keluarga yang hanya gara-gara berebut tayangan program di televisi, dsb. Ketergantungan-ketergantungan tersebut pada akhirnya menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, dimana kebutuhan-kebutuhan baru tersebut merupakan tujuan kaum kapitalis dalam mengkonstruksi dan mengendalikan persepsi kaum yang lemah tanpa disadari untuk mempertaruhkan kekuasaan mereka. []



[1] Wibowo, Wahyu, Sihir Iklan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 200, h. 128

[2] David Chaney, Lifestyle, Suatu Pengantar Komprehensif, h. 170

0 komentar: