
Media mainstream sebagai basis dan tempat bagi beragam bentuk permainan makna dan relasi budaya yang sangat besar. Gaya hidup, estetika, dan prestise—sebagai fenomena budaya urban-kosmopolit—adalah sesuatu yang bisa dijual. Kaum kapitalis berpersepsi bahwa budaya dapat memuaskan hasrat dan impian kaum urban-kosmopolit tentang kehidupan yang indah, tenang, dan sejahtera, sekali pun semu.[1]
Saat ini banyak remaja di Indonesia, khususnya yang tinggal di kota-kota besar, yang mengadopsi budaya asing yang modern. Sehingga teknologi, fesyen, musik, dan pesta sering diasumsikan sebagai budaya anak muda—dimana ketiga hal tersebut dianggap sebagai bentuk modernisasi—dan tidak sedikit pula dari mereka yang terjebak—baik disengaja mau pun yang tidak—dalam gaya hidup konsumerisme, materialisme, hingga hedonisme. Gaya hidup merupakan sesuatu hal yang prestise bagi masyarakat kosmopolitan, tak terkecuali para remaja. Sebagai kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio, bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka juga mempunyai banyak kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi. Seperti yang dikatakan Idi Subandi, bahwa:
“Apa yang mungkin lebih relevan adalah bahwa dalam perburuan gaya hidup yang glamour, misalnya para produsen dan industri hiburan (serta media massa) mencoba melakukan bujuk rayu terhadap para pelanggan melalui ilusi-ilusi tentang diri (illusions of self). Artinya, bahwa mereka menarik pelanggan seperti terlihat dalam bahasa-bahasa penampilan yang digunakan melalui industri kebudayaan massa. Mereka diberi ilusi-ilusi tertentu tentang keunikan dalam gaya hidup personal yang menyilaukan sehingga terperangkap dalam penampakkan luar dimana mereka tidak memiliki kendali. Disinilah kita mulai memasuki wilayah periklanan gaya hidup. Komoditi diukir dengan gaya dan gaya adalah komoditi yang bernilai.”[2]
Sifat serta fungsi media yang berubah—dari media informasi menjadi media hiburan—mengakibatkan ketergantungan di masyarakat. Ketergantungan masyarakat terhadap media massa juga mengakibatkan timbulnya budaya—dimana banyak ibu-ibu rumah tangga yang lebih mementingkan tayangan infotainment dibandingkan dengan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya, atau anak-anak kecil yang rela untuk tidur larut demi menonton tayangan Smack Down, bahkan konflik-konflik keluarga yang hanya gara-gara berebut tayangan program di televisi, dsb. Ketergantungan-ketergantungan tersebut pada akhirnya menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, dimana kebutuhan-kebutuhan baru tersebut merupakan tujuan kaum kapitalis dalam mengkonstruksi dan mengendalikan persepsi kaum yang lemah tanpa disadari untuk mempertaruhkan kekuasaan mereka. []
0 komentar:
Posting Komentar