Jumat, 24 Juli 2009

Media yang Tidak Pernah Apa Adanya


Oleh: Tukangtidur


Media harus melaporkan berita secara apa adanya, lengkap, dan tidak memihak.

Media harus berfungsi sebagai pembela masyarakat melawan penguasa yang
menyalahgunakan kekuasaannya. Noam Chomsky yakin bahwa media
tidak memenuhi satu pun dari dua hal tersebut.
(Baca Noam Chomsky untuk Pemula karya Davids Cogswell, hlm 69)


Yup. Ketidakpercayaan Noam Chomsky terhadap media memang sangat beralasan. Sebab kenyataannya memang seperti itu. Media telah berhasil menjadi perpanjangan tangan para penguasa dan pengusaha. Kebenaran yang ditawarkan oleh media adalah kebenaran yang “seolah-olah” dan tidak lagi apa adanya, tetapi merupakan sebuah kebenaran yang sudah dibentuk sedemikian rupa agar sesuai dengan kepentingan yang diusungnya. Media sudah bukan lagi suatu organisme yang berada di titik tengah atau netral, melainkan sudah menjadi suatu organisme yang tidak dapat lagi menolak untuk berpihak.

Istilah cover both side (berita berimbang) dalam media adalah istilah yang terlalu agung untuk dilaksanakan, sebab setiap media memang tak mungkin bisa lepas dari kepentingan ideologi yang diembannya. Itu sebabnya, berita yang ditawarkan oleh media pada zaman Fasisme di Italia tentu harus sesuai dengan kepentingan sang Duce-nya yaitu Benito Mussolini. Juga jangan heran jika isi berita CNN akan sangat jauh berbeda dengan isi berita yang disiarkan oleh stasiun TV Al-Jazeera, padahal kedua stasiun TV tersebut sedang membicarakan tentang permasalahan yang sama, peristiwa yang sama, di waktu yang sama, dan di wilayah yang sama pula. Sebab, kedua stasiun TV tersebut memang memiliki kepentingan yang berbeda satu sama lain.

Dalam tulisannya yang berjudul Berita Pagi, Seno Gumira Ajidarma menulis begini: “Media massa mempunyai daya istimewa untuk membangun konstruksi dunia, tetapi itu hanyalah konstruksi seolah-olah, karena berita di media massa sebenarnya bukanlah kenyataan itu sendiri.” (Baca Affair karya Seno Gumira Ajidarma, hlm 122).

Tulisan bung Seno di atas semakin menguatkan anggapan kepada kita bahwa media memang tidak akan pernah menghadirkan sesuatu secara “apa adanya”.

Setiap individu memang berhak mendapatkan informasi. Inilah salah satu nilai yang dijunjung tinggi dalam ruang lingkup demokrasi (tapi tenang, saya masih anti demokrasi, kokJ). Informasi adalah sesuatu hal yang “kudu” dipenuhi oleh pemerintah kepada rakyatnya. Semua informasi harus dihadirkan secara terang-terangan. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Lagipula, bukankah memang begitu esensi dari slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat? (Hwuek! Cuih!).

Namun kenyataannya kan tidak seperti itu. Informasi yang ditawarkan oleh media adalah informasi yang telah terdistorsi. Konstruksi dunia yang dihadirkan oleh media adalah “konstruksi seolah-olah”.

Seperti yang telah saya sebutkan tadi, bahwa setiap individu memang berhak mendapatkan informasi. Namun apa jadinya jika informasi yang ditayangkan oleh media itu terlampau banyak alias over dosis? Setiap detik informasi demi informasi hilir mudik tak pernah henti, luber seperti air dalam ember, sampai-sampai kita tidak memiliki kesempatan untuk memilah-milah mana informasi yang layak kita konsumsi dan mana informasi yang layak kita buang ke tempat sampah. Semua informasi yang ditawarkan oleh media datang secara bertubi-tubi mengepung diri kita dari berbagai macam sudut penjuru, dan kita tidak memiliki ruang sama sekali untuk bertanya, “Untuk apa semua informasi itu saya konsumsi? Apakah semua informasi itu penting untuk hidup saya?”.

Maka terjadilah sebuah drama hidup seperti ini: Seorang ibu-ibu sedang menyetrika baju suaminya sambil menonton cerita tentang “anak punk” yang sedang ganjen unjuk diri di dalam layar televisi. Padahal sungguh mati betapa informasi tentang “anak punk” itu tidak memiliki relevansinya sama sekali terhadap kehidupan ibu-ibu itu.

Itu sebabnya, jangan heran jika Baudrillard mengatakan bahwa sebenarnya kita sedang hidup dalam ekstase komunikasi. Ruang publik tidak lagi menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi menjadi rahasia. Apa yang nyata bukan lagi hubungan langsung kita dengan dunia, melainkan apa yang telah diberikan oleh media kepada kita. Yang ilusi dibuat nyata dan yang nyata menjadi ilusi (Baca Poststrukturalisme dan Postmodernisme karya Madan Sarup, hlm 283).

Inti dari tulisan ini sebenarnya bukan ingin memaksa seseorang untuk menolak sama sekali peran media. Bukan seperti itu. Di sini saya hanya ingin memberi kabar, bahwa media bukanlah satu-satunya semesta yang menawarkan kebenaran. Dan, ini yang lebih penting, di sini saya cuma ingin menawarkan sejentik ingatan agar dalam hidup yang cuma sebentar ini kita tidak gampang lagi dibodohi oleh media. Tetapi, saya percaya bahwa kamu adalah seorang pribadi yang cerdas, yang tidak akan mudah terhipnotis oleh pencitraan-pencitraan pseudo yang selalu diagitasikan media-media kapitalis, yang memang telah berhasil mengangkangi dunia ini.

Akhirul kalam, “Pertanyakan kembali apa yang kamu lihat. Pertanyakan ulang apa yang kamu dengar”. []

0 komentar: